PENDIDIKAN DALAM KRISIS INTEGRITAS
Mansur Arsyad
Yang lebih meresahkan adalah kenyataan bahwa praktik-praktik
kecurangan, korupsi, dan berbagai tindakan tidak etis serta immoral justru
marak terjadi di institusi pendidikan. Bahkan melibatkan individu-individu yang
memiliki kualifikasi akademis tinggi. Tak jarang, orang-orang terdidik terseret
dalam kasus kejahatan, atau malah tunduk pada tekanan otoritas, sementara
sebagian lainnya terjerumus dalam godaan kepentingan pragmatis yang hedonis. Fenomena
ini memunculkan praduga yang kuat bahwa pendidikan kita sedang mengalami
disfungsi moral dan etika, yang pada akhirnya gagal mencetak individu-individu
yang bertanggung jawab, jujur, dan berintegritas.
Data Empirik Krisis integritas
Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan yang
diluncurkan oleh Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK) pada 30 April 2024
menunjukkan betapa masih rentannya pendidikan kita dari sisi intergritas. Hal
itu tergambar pada lemahnya karakter peserta didik, buruknya ekosistem dan tata
kelola lembaga pendidikan. Survei tersebut menampilkan fakta-fakta regresif
pendidikan dalam soal integritas moral. Angka-angka pada survei tersebut,
menggambarkan secara massif kasus-kasus ketidakjujuran dan kecurangan akademik,
penyalahgunaan kekuasaan/jabatan, gratifikasi, suap, dan pungutan liar. Potensi
korupsi yang diungkap dari survei tersebut juga cukup mencengangkan. Misalnya,
terdapat 33,09% sekolah dan 40% Perguruan Tinggi yang terindikasi terlibat laporan
keuangan fiktif.
Demikian juga halnya pada ranah akademik. Ketidakjujuran
akademik yang ditunjukkan oleh siswa maupun mahasiswa cukup tinggi, diatas 30
persen. Lebih mengkhawatirkan lagi, praktik kecurangan akademik di kalangan
guru dan dosen, seperti plagiasi, tercatat mencapai lebih dari 60 persen.
Kasus-kasus tersebut mencerminkan betapa seriusnya masalah ini.
Bahkan, terdapat kasus memilukan sekaligus memalukan di mana
oknum dosen memilih jalan pintas yang tidak jujur demi meraih gelar guru besar.
Kasus seperti ini, meski mungkin tidak banyak terungkap, menunjukkan adanya
celah besar dalam integritas dunia pendidikan. Ironisnya, hasil Indeks
Integritas pendidikan yang telah dirilis oleh SPI KPK justru menunjukkan temuan
yang mengejutkan dan paradoksal: semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang,
semakin rendah tingkat integritasnya. Setidaknya menurut temuan SPI tersebut.
Perlunya perubahan mendasar.
Realitas yang telah diuraikan di atas seharusnya menjadi
alarm yang mendesak kita untuk melakukan perubahan mendasar dalam sistem
pendidikan kita. Langkah pertama yang harus diambil adalah reorientasi
pendidikan, kembali pada tujuan yang secara jelas termaktub dalam Undang-Undang
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2002. Pendidikan harus difokuskan untuk mengembangkan
potensi peserta didik, tidak hanya dalam aspek intelektual, tetapi juga untuk
membentuk pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, kreatif, mandiri, cakap, serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Dari pijakan regulasi tersebut, langkah selanjutnya adalah
merancang skema yang jelas, proporsional, dan implementatif untuk pendidikan
karakter di semua jenjang pendidikan. Pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan
karakter harus tetap menjadi prioritas utama, terutama di kelas-kelas rendah
SD. Sementara itu, di TK/PAUD, anak-anak harus diberikan ruang untuk
menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bermain. Untuk itu, diperlukan
pemahaman dan kesadaran kolektif dari semua pihak, termasuk orangtua, bahwa
pendidikan di TK/PAUD memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan
dasar. Pendidikan di TK/PAUD bukanlah pendidikan yang setara dengan 'SD
junior'. Sebaliknya, TK/PAUD fokus pada pengembangan karakter dasar anak
melalui bermain, eksplorasi, dan interaksi sosial, yang merupakan fondasi
penting bagi tumbuh kembang mereka.
Untuk mewujudkan pendidikan yang mengembangkan karakter
secara menyeluruh, tidak hanya di tataran kognitif, perhatian khusus juga perlu
diberikan pada upaya mengembangkan dan menghidupkan kembali minat baca anak.
Kegiatan membaca merupakan ruang potensial untuk membangun integritas anak.
Selain memperkaya kesadaran intelektual, emosional, sosial, dan spiritual,
membaca juga berfungsi sebagai alat untuk menutup ‘celah hitam’ yang muncul
akibat dampak buruk dari teknologi informasi yang kini relatif semakin tidak
terkendali.
Sebagaimana yang kita ketahui, minat baca anak-anak saat ini
mengalami penurunan yang tajam, sebuah fenomena yang tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga hampir di seluruh dunia. Minat baca anak tergerus oleh
dominasi 'dunia maya' dan hiburan digital lainnya yang kini semakin menyita
waktu dan perhatian mereka. Membaca, pada akhirnya harus bersaing dengan pesona
game, media sosial, dan berbagai jenis hiburan yang sering kali tidak sesuai
dengan kebutuhan edukasi anak. Laporan BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa
penggunaan internet oleh peserta didik kita didominasi untuk tujuan hiburan
(86,65 persen) dan media sosial (66,68 persen). Angka ini menggambarkan betapa
besar peluang bagi anak-anak untuk terpapar konten yang bisa jadi tidak mendukung
pembelajaran bahkan beresiko menjadi antitesa terhadap nilai-nilai edukatif.
Selain itu, ekosistem pendidikan juga memiliki peran krusial
dalam pembentukan karakter anak. Tantangannya adalah bagaimana membangun ekosistem
pendidikan yang menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan rasa hormat
terhadap sesama. Pada sisi lain, pendidikan yang menganut paham elitisme dan
favoritisme harus dihindari karena hanya akan menciptakan ketidakadilan,
menumbuhkan sikap iri, ketidakjujuran, dan sikap negatif lainnya. Kita
berharap, pendidikan kita adalah tempat dimana setiap anak dapat tumbuh dan
berkembang secara seimbang, baik dalam aspek pengetahuan maupun dalam
pembentukan karakter yang kokoh. Pada akhirnya, kita perlu merenungkan kembali
kata bijak dari Aristoteles bahwa mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah
pendidikan sama sekali.
Comments
Post a Comment