PENDIDIKAN DALAM KRISIS INTEGRITAS

 Mansur Arsyad

Pasca Pemilu Presiden 2024, masyarakat Indonesia kembali menaruh harapan besar untuk merajut semangat membangun dan mewujudkan bangsa yang lebih bermartabat. Harapan ini tumbuh di tengah keyakinan bahwa Indonesia harus melangkah menuju masa depan yang lebih baik, berlandaskan nilai-nilai kebangsaan yang egalitarian, demokratis, dan berkeadaban. Semangat ini juga didorong oleh keinginan kuat untuk mengakhiri praktik-praktik otoriter, koruptif, kolusi, dan nepotisme yang masih membayangi kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini. Fakta empirik dengan jelas menunjukkan bahwa lebih dari dua dekade berlalu sejak Reformasi 1998, impian untuk menjadi bangsa yang besar, bermartabat, dan berkeadaban tinggi seolah semakin jauh dari kenyataan.

Yang lebih meresahkan adalah kenyataan bahwa praktik-praktik kecurangan, korupsi, dan berbagai tindakan tidak etis serta immoral justru marak terjadi di institusi pendidikan. Bahkan melibatkan individu-individu yang memiliki kualifikasi akademis tinggi. Tak jarang, orang-orang terdidik terseret dalam kasus kejahatan, atau malah tunduk pada tekanan otoritas, sementara sebagian lainnya terjerumus dalam godaan kepentingan pragmatis yang hedonis. Fenomena ini memunculkan praduga yang kuat bahwa pendidikan kita sedang mengalami disfungsi moral dan etika, yang pada akhirnya gagal mencetak individu-individu yang bertanggung jawab, jujur, dan berintegritas.

Data Empirik Krisis integritas

Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan yang diluncurkan oleh Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK) pada 30 April 2024 menunjukkan betapa masih rentannya pendidikan kita dari sisi intergritas. Hal itu tergambar pada lemahnya karakter peserta didik, buruknya ekosistem dan tata kelola lembaga pendidikan. Survei tersebut menampilkan fakta-fakta regresif pendidikan dalam soal integritas moral. Angka-angka pada survei tersebut, menggambarkan secara massif kasus-kasus ketidakjujuran dan kecurangan akademik, penyalahgunaan kekuasaan/jabatan, gratifikasi, suap, dan pungutan liar. Potensi korupsi yang diungkap dari survei tersebut juga cukup mencengangkan. Misalnya, terdapat 33,09% sekolah dan 40% Perguruan Tinggi yang terindikasi terlibat laporan keuangan fiktif.  

Demikian juga halnya pada ranah akademik. Ketidakjujuran akademik yang ditunjukkan oleh siswa maupun mahasiswa cukup tinggi, diatas 30 persen. Lebih mengkhawatirkan lagi, praktik kecurangan akademik di kalangan guru dan dosen, seperti plagiasi, tercatat mencapai lebih dari 60 persen. Kasus-kasus tersebut mencerminkan betapa seriusnya masalah ini.

Bahkan, terdapat kasus memilukan sekaligus memalukan di mana oknum dosen memilih jalan pintas yang tidak jujur demi meraih gelar guru besar. Kasus seperti ini, meski mungkin tidak banyak terungkap, menunjukkan adanya celah besar dalam integritas dunia pendidikan. Ironisnya, hasil Indeks Integritas pendidikan yang telah dirilis oleh SPI KPK justru menunjukkan temuan yang mengejutkan dan paradoksal: semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin rendah tingkat integritasnya. Setidaknya menurut temuan SPI tersebut.

Perlunya perubahan mendasar.

Realitas yang telah diuraikan di atas seharusnya menjadi alarm yang mendesak kita untuk melakukan perubahan mendasar dalam sistem pendidikan kita. Langkah pertama yang harus diambil adalah reorientasi pendidikan, kembali pada tujuan yang secara jelas termaktub dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2002. Pendidikan harus difokuskan untuk mengembangkan potensi peserta didik, tidak hanya dalam aspek intelektual, tetapi juga untuk membentuk pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Dari pijakan regulasi tersebut, langkah selanjutnya adalah merancang skema yang jelas, proporsional, dan implementatif untuk pendidikan karakter di semua jenjang pendidikan. Pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan karakter harus tetap menjadi prioritas utama, terutama di kelas-kelas rendah SD. Sementara itu, di TK/PAUD, anak-anak harus diberikan ruang untuk menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bermain. Untuk itu, diperlukan pemahaman dan kesadaran kolektif dari semua pihak, termasuk orangtua, bahwa pendidikan di TK/PAUD memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan dasar. Pendidikan di TK/PAUD bukanlah pendidikan yang setara dengan 'SD junior'. Sebaliknya, TK/PAUD fokus pada pengembangan karakter dasar anak melalui bermain, eksplorasi, dan interaksi sosial, yang merupakan fondasi penting bagi tumbuh kembang mereka.

Untuk mewujudkan pendidikan yang mengembangkan karakter secara menyeluruh, tidak hanya di tataran kognitif, perhatian khusus juga perlu diberikan pada upaya mengembangkan dan menghidupkan kembali minat baca anak. Kegiatan membaca merupakan ruang potensial untuk membangun integritas anak. Selain memperkaya kesadaran intelektual, emosional, sosial, dan spiritual, membaca juga berfungsi sebagai alat untuk menutup ‘celah hitam’ yang muncul akibat dampak buruk dari teknologi informasi yang kini relatif semakin tidak terkendali.

Sebagaimana yang kita ketahui, minat baca anak-anak saat ini mengalami penurunan yang tajam, sebuah fenomena yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga hampir di seluruh dunia. Minat baca anak tergerus oleh dominasi 'dunia maya' dan hiburan digital lainnya yang kini semakin menyita waktu dan perhatian mereka. Membaca, pada akhirnya harus bersaing dengan pesona game, media sosial, dan berbagai jenis hiburan yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan edukasi anak. Laporan BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa penggunaan internet oleh peserta didik kita didominasi untuk tujuan hiburan (86,65 persen) dan media sosial (66,68 persen). Angka ini menggambarkan betapa besar peluang bagi anak-anak untuk terpapar konten yang bisa jadi tidak mendukung pembelajaran bahkan beresiko menjadi antitesa terhadap nilai-nilai edukatif.

Selain itu, ekosistem pendidikan juga memiliki peran krusial dalam pembentukan karakter anak. Tantangannya adalah bagaimana membangun ekosistem pendidikan yang menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan rasa hormat terhadap sesama. Pada sisi lain, pendidikan yang menganut paham elitisme dan favoritisme harus dihindari karena hanya akan menciptakan ketidakadilan, menumbuhkan sikap iri, ketidakjujuran, dan sikap negatif lainnya. Kita berharap, pendidikan kita adalah tempat dimana setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara seimbang, baik dalam aspek pengetahuan maupun dalam pembentukan karakter yang kokoh. Pada akhirnya, kita perlu merenungkan kembali kata bijak dari Aristoteles bahwa mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali.

Comments

Berita Populer

REVITALISASI CLASSROOM ASSESSMENT SEBAGAI PERANCAH PEMBELAJARAN

MERESPON POST TRUTH ERA

MENGAKTIFKAN POLA PIKIR BERTUMBUH (GROWTH MINDSET) DI RUANG KELAS

ARGUMENTUM AD HOMINEM

INSPIRASI PEMBELAJARAN