ARGUMENTUM AD HOMINEM

 

ARGUMENTUM AD HOMINEM

                                                    Mansur Arsyad

Kita sering menyaksikan diskusi atau perdebatan di televisi. Berdebat pada dasarnya adalah sarana yang baik untuk menggali ide terbaik dan mencapai pemahaman yang lebih dalam. Namun, tidak jarang kita melihat perdebatan menjadi dangkal secara substansial karena berubah arah dari mengadu argumen menjadi menyerang pribadi. Serangan terhadap pribadi dalam suatu debat dikenal sebagai ad hominem. Cara tersebut tentu saja mendistorsi tujuan diskusi atau debat, mengalihkan fokus dari menggali realitas ke serangan personal, dan sudah pasti merusak esensi dialog yang seharusnya rasional dan produktif

Ad hominem sendiri adalah istilah dalam logika dan retorika yang berasal dari bahasa Latin, yang berarti "terhadap orangnya." Istilah ini merujuk pada sebuah kesalahan logika (logical fallacy) di mana seseorang menyerang karakter, sifat pribadi, atau motivasi individu yang menyampaikan argumen, alih-alih membantah atau menghadapi argumen itu sendiri. Ad hominem bisa dalam bentuk serangan karakter, mempersoalkan jejak rekam atau masa lalu pihak tertentu, atau menyerang kepentingan pribadi.

Terjadinya Ad Hominem

Ad hominem sering muncul dalam perdebatan yang berlangsung panas, terutama ketika para pihak lebih terfokus pada keinginan untuk menjatuhkan lawan daripada mencari kebenaran atau solusi bersama. Ketika ego, ambisi, atau emosi mengambil alih jalannya diskusi, serangan terhadap pribadi kerap menjadi senjata yang digunakan untuk menggantikan argumen yang logis dan substansial.

Debat di ranah politik menjadi salah satu arena paling subur bagi ad hominem. Dalam suasana kompetitif yang kental dengan pertarungan reputasi, dan persaingan kekuasaan, argumen seringkali diabaikan, sementara serangan terhadap reputasi, karakter, atau latar belakang pribadi lawan menjadi alat utama untuk mendapatkan dukungan publik atau menjatuhkan kredibilitas lawan.

Secara umum, ada beberapa faktor yang memicu munculnya ad hominem dalam sebuah debat. Faktor pertama yang paling signifikan adalah ketahanan emosional para pihak yang terlibat. Ini seringkali berkorelasi erat dengan seberapa sensitif atau emosional topik yang sedang dibahas. Ketika perdebatan melibatkan isu yang sensitif atau memicu emosi mendalam, kesabaran dan kontrol diri seringkali “kebablasan”.

Dalam situasi emosi yang tidak terkendai, kemampuan untuk menyusun argumen yang logis dan rasional pun mulai tereduksi. Alih-alih fokus pada substansi masalah, perhatian cenderung beralih pada bagaimana memenangkan perdebatan, bagaimana menghabisi lawan debat, terutama untuk mendapatkan klaim kebenaran atau—lebih buruk lagi—bagaimana mempermalukan lawan debat di mata publik. Dorongan untuk terlihat benar atau mengalahkan lawan sering kali mengaburkan tujuan awal diskusi, yakni untuk memahami dan mencapai solusi yang lebih baik.

Keinginan untuk menang dalam perdebatan politik atau sosial, yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok, membuat sebagian individu tergoda untuk memilih jalan pintas—yaitu menyerang pribadi lawan. Alih-alih menghadapi argumen yang lebih substansial, mereka memilih untuk merusak kredibilitas lawan dengan menyerang karakter, latar belakang, atau bahkan integritas seseorang. Pendekatan ini membuka ruang bagi ad hominem, menggantikan perdebatan yang konstruktif dengan pertunjukan yang kosong dan tidak produktif. Sebagai hasilnya, perdebatan yang seharusnya menjadi ajang ajang untuk menguji gagasan, mempertandingkan ketajaman argumen dan keruntunan logika justru berubah menjadi arena serangan pribadi yang tidak menarik untuk disaksikan.

Faktor kedua yang sering memicu munculnya ad hominem adalah kurangnya dukungan data yang kuat sebagai basis argumentasi. Dalam sebuah perdebatan atau diskusi yang sehat, argumen seharusnya dibangun atas dasar fakta, data yang relevan, dan pemikiran logis yang terstruktur. Namun, ketika suatu pihak tidak memiliki informasi yang cukup atau bukti yang valid untuk mendukung klaim yang disodorkan, mereka sering kali merasa terpojok dan terpaksa mencari cara untuk mengalihkan perhatian dari kekurangan tersebut.

Dalam kondisi seperti ini, daripada menyusun argumen yang lebih solid atau relevan dengan tema debat, beberapa orang justru memilih menyerang pribadi lawan sebagai bentuk pertahanan diri. Serangan ad hominem sering digunakan sebagai “senjata pemungkas” untuk merusak kredibilitas lawan tanpa perlu menghadirkan data atau fakta yang yang argumentantif dan substansial. Namun, tentu saja strategi semacam ini justru kontraproduktif. Di era informasi seperti sekarang, masyarakat semakin mampu menilai kualitas sebuah perdebatan dan membedakan antara argumen yang berbobot dengan sekadar serangan personal. Akibatnya, pelaku ad hominem lebih berisiko kehilangan kepercayaan dan kredibilitas di mata publik.

Selain persoalan dukungan data, performa pendebat juga sering kali berkaitan dengan ketidaktahuan atau ketidakmampuan dalam merumuskan argumen yang rasional. Ketika seseorang tidak mampu menyusun informasi secara logis atau mengungkapkan argumen dengan artikulasi yang baik, mereka cenderung mengandalkan serangan pribadi untuk "memenangkan" debat, meskipun itu tidak menyelesaikan inti permasalahan yang sedang dibahas.

Faktor ketiga berkaitan dengan etika diskusi.  Tidak semua orang memiliki keterampilan yang memadai untuk terlibat dalam debat yang rasional dan beretika. Ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman tentang prinsip-prinsip diskusi yang sehat membuat sebagian orang lebih rentan menggunakan ad hominem. Dalam banyak kasus, hal ini bukan hanya karena kurangnya pengalaman, tetapi juga karena adanya tekanan untuk terlihat unggul atau mendominasi perdebatan di mata audiens.

Obsesi yang berlebihan untuk memenangkan debat atau sekadar mempertahankan citra diri sering kali mendorong seseorang melampaui batas-batas etika. Alih-alih berfokus pada substansi argumen, mereka terjebak dalam upaya menjatuhkan pribadi lawan. Sayangnya, tindakan seperti ini tidak hanya mencederai esensi perdebatan itu sendiri, tetapi juga meruntuhkan kredibilitas pelakunya. Dalam konteks ini, penggunaan ad hominem menjadi cerminan dari ketidakmampuan berdialog, penguasaan masalah yang rendah, dan ketidakpedulian pada tanggungjawab etis. Justru, mereka yang terjebak dalam pola ini berisiko kehilangan kepercayaan dari audiens yang semakin peka terhadap pentingnya etika dalam diskusi.

Selain tiga faktor utama yang sering memicu ad hominem dalam forum debat, ada kemungkinan lain seperti distraksi atau pengalihan isu. Taktik ini dilakukan untuk menutup kelemahan sendiri sembari menjatuhkan martabat lawan debat. Dalam konteks debat politik, ad hominem bahkan kerap dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk mendiskreditkan lawan, meskipun argumen yang diajukan sebenarnya valid. Strategi semacam ini bukan hanya merusak esensi debat yang sehat, tetapi tidak mencerminkan pendidikan politik yang sehat bagi masyarakat.

Peran Penting Pendidikan

Pendidikan memiliki peran strategis dalam mereduksi ad hominem, karena fungsi pendidikan tidak terbatas pada pengembangkan kecerdasan intelektual, tetapi juga pada pembentuk karakter, empati, dan kemampuan komunikasi yang bersifat ilmiah dan rasional. Kita dapat  bahkan perlu mengajarkan  Laiterasi logika dan berpikir kritis di sekolah untuk membantu anak-anak mengenali kesalahan logika dan melatih mereka berdiskusi secara substantif, logis dan argumentanif. Pada saat yang sama, juga dipelukan pendidikan karakter untuk menanamkan nilai-nilai etika dan empati, sehingga mengajari anak-anak bersikat apresiatif terhadap perbedaan.

Mengatasi fenomena ad hominem melalui pendidikan memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan terstruktur, dengan mengintegrasikan penguatan keterampilan penalaran kritis serta peningkatan kesadaran etika dalam berkomunikasi, baik dalam program kurikuler maupun non-kurikuler. Setiap mata pelajaran seharusnya memberikan ruang untuk pengembangan keterampilan ini, agar siswa terbiasa berpikir logis dan analitis. Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler juga dapat dioptimalkan dengan aktivitas yang berfokus pada penguatan literasi berpikir kritis, serta melatih siswa dalam menyusun argumen yang berbasis data dan penalaran yang kuat. Dengan cara ini, siswa tidak hanya dilatih untuk berpikir dengan jernih, tetapi juga untuk berkomunikasi secara etis dan konstruktif, menghindari ad hominem dalam perdebatan dan diskusi..

Penguatan penalaran logis dalam pendidikan dapat dimulai dengan mengajarkan dasar-dasar logika formal dan informal, serta mengenalkan berbagai jenis kesalahan penalaran, termasuk ad hominem, kepada siswa. Pendidikan ini tidak hanya memberi mereka alat untuk mengidentifikasi kesalahan dalam argumen, tetapi juga memperlengkapi mereka dengan keterampilan untuk menyusun argumen yang lebih kuat dengan artikulasi yang menarik. Pendekatan ini harus dimulai sejak dini melalui kurikulum yang mendorong kemampuan analisis kritis, seperti filsafat, debat, dan retorika yang baik.

Selain itu, pendidikan etika dan empati juga perlu diperkuat untuk menciptakan ruang yang kondusif bagi dialog yang konstruktif. Mengajarkan siswa untuk menghargai perbedaan pendapat dan memahami perspektif orang lain adalah langkah penting untuk melatih mereka menghindari perdebatan yang berubah menjadi ad hominem. Dalam hal ini, pendekatan berbasis karakter dalam pendidikan menjadi kunci, dengan menanamkan nilai-nilai seperti menghormati orang lain, berpikir terbuka, serta mengedepankan sikap elegan (bukan arogan) dalam komunikasi.

Secara keseluruhan, pendidikan yang mengintegrasikan logika, etika, dan keterampilan komunikasi yang efektif akan menciptakan individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kemampuan untuk berdebat dan berdiskusi secara konstruktif tanpa harus merendahkan atau menyerang pribadi orang lain.

 =======================================================================

 

 

 

 

Comments

  1. keren....

    Mungkin masyarakat kita belum semua terbiasa dengan diskusi 2 arah.
    Bahkan kadangkala masukan, kritik, argumen yang berbeda itu dianggap kontra produktif.

    +26 itu mah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali Pak, dan ini salah satu tugas berat pendidikan kita kedepan

      Delete
  2. Tugas berat pendidik dan jajaran utk memcerdaskan masyarakat dimana dampak dari covid menggiring kita ke titik nol ilmu pengetahuan,, generasi kita jadi minim literasi sehingga sangat mudah menggiring ke berita hoaxs sebaliknya mereka yg .suka lierasi sangat minim sehingga disaat mereka speak up soal kebenaran yg minim akan menyerang dengan bullying nya secara berjamaah, dengan tdk ada ilmunya
    miris rasanya ya pak,,

    #Save mental
    #budayakan kembali diskusi sehat
    #dimulai dari rumah

    ReplyDelete
  3. Seperti biasa, mantap, luar biasa.

    ReplyDelete

Post a Comment

Berita Populer

REVITALISASI CLASSROOM ASSESSMENT SEBAGAI PERANCAH PEMBELAJARAN

MERESPON POST TRUTH ERA

MENGAKTIFKAN POLA PIKIR BERTUMBUH (GROWTH MINDSET) DI RUANG KELAS

INSPIRASI PEMBELAJARAN