UJIAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF BARU KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Oleh: Mansur Arsyad

Setelah diwacanakan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, untuk mengkaji kemungkinan pemberlakuan kembali "Ujian Nasional" (UN), isu ini telah menjadi sorotan publik. Muncul optimisme, tetapi juga kekhawatiran dalam merespons wacana kebijakan tersebut. Pengamat pendidikan, Retno Listyarti, dalam dialog di salah satu stasiun televisi, dengan tegas mengingatkan agar tidak kembali ke sistem UN yang, menurutnya, telah menyimpan sejumlah catatan negatif sejak diterapkan pada tahun 2005 hingga tahun 2020/2021.

Pada kesempatan yang sama di acara dialog tersebut, Hetifah Syaifudian, Ketua Komisi X DPR RI pun mengingatkan untuk melakukan kajian komprehensif sekiranya UN ini benar-benar akan diberlakukan lagi. Hethifah juga memberikan cacatan krusial soal potensi dampak negatif namun tidak memungkiri bahwa UN sebagai ukuran kinerja individual siswa memang memiliki banyak manfaat diantaranya untuk memacu motivasi belajar siswa. Wacana kebijakan ini tentu akan terus berkembang dan mendapatkan respon yang beragam dari publik karena Abdul Mu’ti selaku Mendikdasmen pada dasarnya belum menjelaskan lebih jauh perihal konsep UN yang dimaksud.

Penulis sendiri berkeyakinan bahwa UN yang dimaksudkan oleh Mendikdasemen bukanlah UN yang sama persis baik secara konseptual maupun strategi implementasi sebagaimana UN yang telah dilaksanakan di waktu lampau. Kemungkinan besar yang menjadi perhatian Mendikdasmen adalah perlunya suatu mekanisme semisal UN yang memberikan gambaran kinerja individual secara terstandar sekaligus dapat memberikan efek pemicu motivasi belajar peserta didik. Artikel ini dimaksudkan sebagai sebuah ulasan kritis dalam konteks kajian UN dimaksud.

Esensi Ujian

Dalam kajian asesmen pendidikan, terdapat dua pendekatan pemikiran yang dominan. Pendekatan pertama menekankan aspek masukan dan proses pendidikan, mencakup faktor-faktor seperti tingkat partisipasi siswa, kualitas infrastruktur, relevansi materi kurikulum, serta kondisi ekosistem pendidikan. Fokus utama dari pendekatan ini adalah untuk mengevaluasi kualitas pendidikan dari sudut pandang yang lebih holistik, di mana setiap elemen berkontribusi pada pengalaman belajar siswa. Hal inilah yang tiga tahun terakhir ini dilakukan dalam bentuk Asesmen Nasional dengan tujuan utama memberikan informasi tentang kinerja sistem dari level satuan pendidikan hingga pemerintah daerah.

Sementara itu, pendekatan kedua berorientasi pada hasil, yaitu penilaian yang mengukur pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses pendidikan dalam jangka waktu tertentu. Pendekatan ini oleh beebrapa negara masih dianggap sangat penting dalam konteks mengukur kemajuan belajar siswa secara valid, berkelanjutan, dan sistematis. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bahwa ketersediaan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik merupakan modal intelektual yang menentukan eksistensi dan daya saing bangsa dalam persaingan global. Pendekatan asesmen ini yang dulu pernah dipraktikkan melalui Ujian Nasional pada akhirnya menuai banyak kritik dari berbagai pihak ketika itu.

Terlepas dari pendekatan apapun, ujian dalam berbagai bentuknya semisal Ujian Nasional (UN), Asesmen Nasional (AN) atau apapun istilahnya adalah merupakan salah satu mata rantai penting dalam sistem pendidikan kita. Bahkan dalam konsep pedagogik, pengujian atau asesmen merupakan bagian integral yang tidak dapat dilepaspisahkan dari proses pendidikan itu sendiri.  Asesmen merupakan suatu alternatif untuk memastikan bahwa layanan pendidikan yang diberikan kepada masyarakat paling tidak memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan. Di sisi yang lain, pun perlu disepakati bahwa kita tidak akan membangun pendidikan yang berorientasi ujian sebagaimana pernah dialami pada dekade sebelumnya. Karena itu, kita perlu menformulasikan dengan cermat untuk menempatkan asesmen ini dalam sistem pendidikan kita dengan fungsi pedagogik yang multi efek serta ramah terhadap dimensi psikologis anak. Hal itu, tentu saja sangat dimungkinkan dengan pemanfaatan teknologi dimana kita dapat mengembangkan metodologi asesmen yang lebih presisi, lebih humanis, dan juga lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaannya.

Amanah Regulasi

Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 sesungguhnya mengamanahkan paling tidak 3 jenis asesmen. Pertama, adalah asesmen berbasis kelas (classroom assessment) sebagaimana tertuang dalam pasal 58 ayat (1) “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Asesmen ini merupakan ranah dan kewenangan guru sebagai bagian dari akuntabilitas pembelajaran. Dalam hal ini, guru perlu melakukan asesemen dalam bentuk assessment for learning (untuk bahan perbaikan pembelajaran), assessement as learning (untuk membangun kapasitas metakognisi anak), dan assessment of learning (mengukur proses dan capaian pembelajaran anak).

Dalam praktik pendidikan saat ini, kedua bentuk asesmen, yaitu asesmen for learning dan as learning, belum sepenuhnya dikembangkan dengan baik oleh para guru. Selain itu, asesmen jenis ketiga masih memerlukan pengayaan melalui berbagai bentuk penilaian, termasuk penilaian non-tes. Penilaian ini bertujuan untuk tidak hanya mengukur capaian akademik siswa, tetapi juga untuk menilai perkembangan karakter, emosi, dan aspek spiritual mereka.

Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menggunakan kewenangan penuh dalam melakukan penilaian otentik dan holistik terhadap peserta didik. Penilaian ini sulit dilakukan secara efektif melalui tes terstandar, yang seringkali tidak dapat mencerminkan keseluruhan potensi dan perkembangan siswa. Pendekatan penilaian yang lebih komprehensif ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai kemajuan dan kebutuhan belajar siswa.

Kedua, merujuk pada Pasal 59 ayat (1), yang menyatakan bahwa "Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan," hal ini diimplementasikan melalui Asesmen Nasional (AN). Sementara penilaian kelas berfokus pada pengukuran kinerja pembelajaran individu, AN, yang telah dilaksanakan selama tiga tahun terakhir dengan menggunakan metode survei, bertujuan untuk mengevaluasi kinerja sistem pendidikan secara keseluruhan.

Dengan demikian, AN yang dirancang untuk memotret kinerja pendidikan dengan satuan pendidikan sebagai unit analisis, memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang efektivitas dan efisiensi sistem pendidikan di Indonesia.Akan tetapi, AN, meskipun dilengkapi bagian untuk mengukur kemampuan literasi dan karakter siswa, namun AN tidak menyiapkan informasi kinerja individual siswa. Sebagai ukuran kinerja sistem, AN pada dasarnya tidak perlu dilaksanakan setiap tahun; cukup dilakukan sekali dalam tiga tahun.

Ketiga, Undang-undang Sisdiknas ini juga mengamanahkan adanya penilaian kinerja individual siswa sebagaimana dituangkan pada 61 khususnya ayat (2) bahwa “Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.”

Asesmen tersebut berfungsi sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar peserta didik melalui sertifikasi, yang diwujudkan dalam pemberian ijazah atau sertifikat bagi mereka yang berhasil lulus ujian. Ujian Nasional (UN), yang sebelumnya dikenal dengan istilah EBTANAS dan UAN, pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi amanah Pasal 61 dalam bentuk asesmen individual siswa di akhir jenjang pendidikan.

Tidak dapat disangkal bahwa perjalanan ujian-ujian tersebut telah menimbulkan berbagai dampak negatif. Beberapa di antaranya termasuk maraknya kecurangan, proliferasi bimbingan tes yang menawarkan solusi instan untuk menjawab soal-soal ujian, dan praktik "pungutan tidak resmi" yang dilakukan oleh sekolah dengan dalih persiapan ujian nasional. Semua ini menjadi catatan penting terkait dampak negatif yang terjadi.

Oleh karena itu, perlu dirumuskan konsep dan strategi implementasi yang matang dan akurat agar ujian yang dimaksud dalam Pasal 61 dapat dilaksanakan dengan efektif. Penekanan pada pemahaman mendalam terhadap konsep-konsep yang diujikan harus menjadi prioritas, senyampang menghindari praktik-praktik yang merugikan dan tidak sejalan dengan tujuan asesmen itu sendiri.

Disisi lain, bahwa kita dapat mengemukakan keterbatasan dan kesenjangan sumber daya pendidikan sebagai alasan untuk menunda pelaksanaan ujian individual secara terstandar, sebagaimana sering didalikan oleh banyak pihak. Namun, argumen tersebut dapat dibalik. Sebaiknya kita menetapkan standar terlebih dahulu, kemudian secara kolektif bekerja keras untuk memenuhi standar tersebut.

Pendekatan 'paksa' ini bukanlah hal yang tabu, karena secara kondisional, kultur pendidikan kita masih belum bertumbuh dengan baik. Kita tidak bisa serta merta meniru Finlandia atau negara-negara lainnya yang sudah memiliki kesadaran pendidikan yang tinggi, serta didukung oleh infrastruktur yang memadai dan anggaran yang kuat. Kultur pendidikan kita masih memerlukan dorongan yang lebih kuat yang mungkin bisa terkesan “pemaksaan” seperti memaksa anak untuk belajar. Atau “memaksa” guru untuk terus mengembangkan kapasitas keprofesian mereka. UN yang nantinya perlu pengembangan konsep dan strategi implementasi adalah suatu bentuk “pemaksaan” kolektif yang bersifat konstruktif bukan hanya bagi siswa tetapi juga bagi guru, tenaga kependidikan dan, seluruh pemangku kepentingan pendidikan.

Ujian dalam Tinjauan Pedagogik Baru

Secara konvensional, ujian atau asesmen sering dipersepsikan sebagai alat untuk memberikan justifikasi terhadap subjek asesmen. Namun, dalam pandangan baru pedagogik, ujian dipandang sebagai bagian integral dari proses pendidikan itu sendiri. Pergeseran cara pandang ini mengubah fungsi asesmen dari sekadar alat justifikasi menjadi alat yang mendukung fungsi pedagogik, seperti memotivasi belajar dan mendorong refleksi untuk pertumbuhan siswa secara terukur, terarah, dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, tiga jenis asesmen yang diamanahkan dalam regulasi sistem pendidikan nasional yaitu asesmen berbasis kelas, Asesmen Nasional, dan asesmen individual terstandar perlu mendapatkan pengayaan serta diimplementasikan secara komplementer dan sinergis.  Dengan demikian, pendidikan di era pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto adalah menjadi sebuah harapan baru untuk mengantarkan masyarakat Indonesia menuju peradaban yang lebih terhormat. Asesmen yang diformulasikan dengan konsep yang kuat, disertai dengan implementasi yang konsisten, akan menjadi salah satu kunci untuk mewujudkan antusiasme tersebut.  

Comments

  1. Mantaaapp ternyata.penulisannya oke juga, congratulation , semoga tetap punya waktu utk menulis terus berkarya pak

    ReplyDelete
  2. Bagus luar biasa pemikiran Pak Sekjen PB PGRI. Dr. Mansyur Arsyad, dengan Ketua PB PGRI. Dr. Drs. H. Teguh Sumarno. M. M

    ReplyDelete
  3. Sangat Menginspirasi , luar biasa

    ReplyDelete
  4. Pemikiran yang luar biasa pak Dr. Mansyur, semoga terus menginspirasi dunia pendidikan, terkhusus menulis konstelasi ekosistem pendidikan, proses lebih bermakna, hasil tiada memungkiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, ekosistem pendidikan, tema ini sangat menarik.

      Delete
  5. Setuju,,, kembalikan marwah pendidikan, sejatinya EBTANAS, UN menciptakan anak2 yg tangguh dan siap berkompetisi,,,

    ReplyDelete

Post a Comment

Berita Populer

REVITALISASI CLASSROOM ASSESSMENT SEBAGAI PERANCAH PEMBELAJARAN

MERESPON POST TRUTH ERA

MENGAKTIFKAN POLA PIKIR BERTUMBUH (GROWTH MINDSET) DI RUANG KELAS

ARGUMENTUM AD HOMINEM

INSPIRASI PEMBELAJARAN