MENGAKTIFKAN POLA PIKIR BERTUMBUH (GROWTH MINDSET) DI RUANG KELAS
MENGAKTIFKAN POLA PIKIR BERTUMBUH
(GROWTH MINDSET) DI RUANG KELAS
Penulis: Mansur Arsyad
Siapa pun mengnginkan dan mengejar sesuatu yang berharga harus bersiap menghadapi resiko kegagalan dan bahkan mungkin akan mengalaminya berkali-kali. Dan siapapun pasti pernah gagal. Namun kegagakan sebenarnya merupakan refleksi dari pola pikir. Karenanya kita dapat mengubah pola pikir kegagalan itu menjadi sebagai sebuah proses pertumbuhan. Ketika Thomas Alva Edison mendapatkan pertanyaan dari wartawan tentang perasaannya mengalami 1000 kali kegagalan dalam proses penemuan lampu pijar, dia malah menolak menyebut itu sebagai kegagalan. Menurut dia, penemuan lampu pijar itu memang harus melewati 1000 kali percobaan untuk berhasil. Jadi kita bisa melihat hidup ini sebagai sebuah dinamika yang berlangsung tanpa henti, kemudian ditafsirkan sebagai kegagalan ataupun peluang dengan cara yang berbeda. Itu sangat tergantung pola pikir kita. Pola pikirlah yang sebagai faktor determinan pertumbuhan seseorang. Untuk itu kita pun harus memastikan bahwa pola pikir kita memang terus terfasilitasi untuk bertumbuh.
Banyak orang tua dan guru terkadang
berlebihan, menuntut anak untuk selalu benar dengan takaran pola pikir sendiri. Mirisnya lagi, kesalahan yang dilakukan anak-anak seolah sesuatu yang tabu dan memalukan. Cara pandang seperti ini bahkan sangat mencolok
dalam praktik pendidikan di sekolah. Anak-anak yang dikategorikan pintar selalu
menjadi sasaran perhatian dan pujian dari para guru. Sebaliknya, anak-anak yang
diluar kategori tersebut cenderung terabaikan. Bahkan sebagian dari mereka
dianggap pembuat onar, perusak suasana kelas, penghambat laju pembelajaran, dan
sebagainya.
Dalam pendekatan growth
mindset, perspektif itu harus diubah. Kesalahan dalam pembelajaran sama sekali tidak mengindikasikan kelemahan kognitif seoranga anak namun lebih sebagai bagaian dari piranti pembelajaran yang pasti muncul dan diperlukan dalam proses belajar. Mindset ini sangat
penting bagi guru atau pendidik lainnya bahkan termasuk orang tua. Tidak mungkin
setiap anak akan menjadi Einstein. Dan kita pun perlu berharap mereka semua menjadi sebagai ahli matematika atau seniman terkanal dan sebagainya. Akan tetapi, yang
perlu menjadi prinsip bersama adalah setiap anak dapat bertumbuh dan berkembang
sesuai dengan potensi dan minat mereka. Bahkan anak-anak yang tampak lemah dan lambat
dalam pembelajaran pun tetap memiliki potensi untuk mencapai pertumbuhan yang optimal
jika mendapatkan bimbingan yang tepat serta perhatian dan motivasi yang cukup.
Sayangnya sistem sekolah yang mencakup pendekatan pedagogik terkadang tidak memberikan dukungan memadai untuk pertumbuhan kapasitas belajar anak. Sekolah terkadang cenderung sangat formalistis-administratif dan tidak cukup memadai menyiapkan ruang bagi siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan pengalaman yang mendalam pada ranah yang mereka ingin terus pelajari, terlepas dari standar kurikulum sekolah. Maka dalam kasus seperti ini, alih-alih untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak, sekolah justru terjbak dalam rutinitas yang membelenggu karena terikat dengan standar yang ketat.
Growth Mindset di
Ruang Kelas
Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa siswa dengan growth mindset lebih termotivasi untuk
belajar, menunjukkan usaha dan kerja keras, tidak mudah putus asa dalam
menghadapi kesulitan, mampu menggunakan strategi yang lebih efektif untuk
belajar, dan memiliki prestasi akademik yang lebih baik. Terlepas dari temuan
yang menjanjikan ini, growth mindset terkadang tidak diperkuat atau
bahkan tergerus oleh kondisi kelas. Bagaimana
memahami dan mempraktikkan mindet tersebut dalam praktik pendidikan
kita? Tulisan ini tidak mengetengahkan kajian teori tapi lebih mengedepankan ulasan
reflektif.
Dalam praktiknya, setiap siswa berpotensi mengalami masa-masa kritis yang sering dikaitkan dengan indikasi kegagagan terutama ketika mereka menghadapi kesulitan belajar. Kesulitan itu
dapat bersumber dari berbagai hal. Bisa jadi karena kecepatan belajar, atau
skemata pengetahuan yang kurang terkondisi dan tidak kokoh dalam
mengadaptasikan informasi dan pengetahuan baru yang dialirkan oleh guru. Atau
boleh jadi karena urusan personal dan tidak mustahil sebagai akibat perfoma guru,
baik secara fisik maupun dari aspek knowledge dan attitude. Khususnya
berkitan dengan perfoma fisik, yang dimaksudkan tidak dalam ukuran kesempurnaan
fisik tapi lebih pada ungkapan kekinian yaitu good looking atau eye catching. Tampilan fisik guru harus memberikan kesan positif
dalam pandangan siswa. Demikianlah, hambatan psikologis dan emosional anak
dalam pembelajaran terkadang mendahului urusan akademik. Dan seringkali hambatan
tersebut diekspresikan oleh anak dalam berbagai bentuk yang membuat orang lain,
termasuk gurunya justeru merasa tidak nyaman.
Dalam satu sesi pelatihan,
seorang guru pernah bertanya bagaimana mengatasi anak-anak yang “bandel”? Kata
bandel ini adalah stigma yang ditancapkan oleh guru kepada anak-anak yang
dianggap tidak patuh atau kurang penurut dan tidak sesuai dengan ekspektasi
guru. Terus saya balik bertanya tentang pangalaman guru tersebut menangani
situasi yang dia maksudkan itu. Diungkapkannya bahwa pengalaman dia dan
rekan-rekannya berbeda-beda dalam menghadapi tingkah siswa. Ada yang memilih
untuk mengabaikan, menegur secara langsung, atau menyerahkan urusannya kepada
guru BK (Bimbingan Konseling). Tapi ada juga yang peduli dan rela menyisihkan
waktu khusus untuk mendekati dan berdialog dengan anak yang demikian. Pada
tingkat tertentu, ada juga guru mengambil “jalan aman” yaitu bersikap permisif atau
pembiaran. Jadi terhadap anak yang dianggap bandel, guru cukup membiarkan saja,
tidak peduli anak itu dapat layanan pendidikan layak atau atau tidak yang
penting naik kelas dan lulus sekolah, maka “permainan dianggap selesai”.
Caring, Voice dan
Choice
Dari pengalaman guru
sebagaimana yang diceritakan secara singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya ada guru yang telah menemukan cara terbaik untuk mengarahkan
pertumbuhan anak yaitu dengan kepedulian (caring). Dan ini berkaitan
dengan apa yang disebut sebagai voice dan choise.
Dalam konteks ini guru seyogyanya menyadari bahwa siswa berhak untuk didengar (kebutuhan
maupun kesulitan belajarnya, keluhan dan hambatan psikologis yang mungkin
dialami oleh siswa), dimana itu dapat datang dari berbagai sumber. Inilah voice
yang hanya dapat diwadahi oleh guru yang memiliki caring.
Begitu pula kaitannya dengan
choise. Setiap manusia hakekatnya berhak atas ruang pilihan dikarenakan secara alamiah mereka berbeda dalam berbagai hal termasuk kecenderungan atau cara berpikir, selera, harapan dan impian hidup mereka. Anak-anak kita, dan siswa di sekolah pun seperti itu. Karenanya,
ketika para pakar menyodorkan konsep personalized learning misalnya,
maka itu tidak cukup tanpa ditopang oleh voice dan choice. Bagaimana
memotret kualitas pembelajaran atau pendidikan secara umum dari sudut pandang kebutuhan
dan sekaligus keberbedaan peserta didik, adalah salah satu isu krusialnya.
Memaksakan kehendak pada satu standar yang sama dalam proses pembelajaran
adalah suatu kekeliruan yang mendasar dan hal ini adalah salah satu penghambat
pertumbuhan anak. Luaran atau target capaian bisa distandarkan namun learning
process nya membutuhkan pengayaan, diversifikasi dan choises.
Perspektif tersebut dapat
dianalogikan sebagai petani yang sedang berjuang menumbuhkembangkan tanamannya.
Maka hal terbaik yang harus dilakukan adalah menjaga dan merawat ekosistem
pertumbuhan tanaman. Pertama-tama dia
harus mampu menghalau dan menjauhkan setiap hal yang berpotensi mengancam
pertumbuhan tanaman. Disaat yang besamaan dia memberikan energi pertumbuhan
pada tanaman sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menggambarkan situasi yang
terjadi dalam pendidikan anak. Namun, disinilah titik kritisnya, ketika anak
tesebut sejak awal telah dicap sebagai anak yang tidak punya potensi untuk
bertumbuh maka dia dibiarkan terus dalam dunianya yang gelap, tanpa perhatian
dan tanpa pertumbuhan.
Ketika caring tidak
dimiliki oleh guru, serta voice dan choise tidak lagi menjadi hak
prerogatif anak maka pembelajaran tidak ubahnya sebagai proses proses produksi,
mekanisitik dan instrumental. Caring melampaui teori apapun. Bukan hanya
dalam bidang pendidikan tapi dalam kehidupan manusia secara umum. Menempatkan caring,
voice dan choise secara proporsional dalam praktik pendidikan
merupakan akar dari pertumbuhan anak. Growth mindset dalam pendidikan dapat dimulai dari titik ini.
Tulisan yg sangat menginspirasi sebagai bentuk perenungan dan evidence dari perjalanan hidup yg penuh makna. Pak Mansur luar biasa.
ReplyDeleteTerima kasih Pak Eka, komentnya sangat menyemangati untuk terus berkarya
DeleteMakin padat dan mantap isi tulisannya pak. Bisa jd sebuah inspirasi bagi yang membaca. Sukses pak
ReplyDeleteTerima kasih mas, Alhamdulilah. Amiin
DeleteSangat menarik dan menginspirasi, terimakasih Pak doktor Mansur
ReplyDeleteTerima kasih kembali
DeleteThanks a lot, full of inspiration
ReplyDeleteyou're welcome Pak
DeleteSelalu inspiratif dan memberi ruang utk memudahkan kami memahami suatu konsep. Terima kasih, Pak Mansur
ReplyDeletesama sama Bu, Terima kasih
DeleteAlhamdulillah Tabaarokallah,kami tunggu pesan (tulisan) inspirasi berikutnya
ReplyDeleteMantap Full